sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6171310
“Ya Allah Gusti, Astaghfirullah…” demikianlah kalimat pertama yang keluar dari mulut ibuku ketika mendengar harga secangkir kopi di starbucks. Ibuku terkejut bukan buatan ketika mendengar harga secangkir kopi di kedai itu dalam kisaran lima puluh ribuan. Jumlah yang sama dengan harga tetes keringat lima orang buruh tani di kampung tempat ibuku tinggal. Tentu ibuku tidak akan pernah memahami kenapa harga secangkir kopi disana begitu mahal untuk ukurannya meskipun sudah coba kujelaskan.
Starbucks hanyalah salah satu dari sekian simbol gaya hidup. Simbol kosmopolitan. Simbol eksistensi orang kota. Simbol kemewahan. Di kedai itu para pengunjung mengkreasi citra dirinya, menyatukan dirinya dengan simbol-simbol itu. Orang-orang merasa harus hafal berbagai bentuk sajian di kedai itu agar terlihat pintar dan tidak ketinggalan jaman. Kedekatan individu dengan simbol-simbol yang dipilih akan membentuk gambaran diri yang selanjutnya akan membentuk citra diri. Kebutuhan akan pencitraan ini yang diolah oleh para pebisnis untuk mengeruk keuntungan.
Citra diri bagi setiap individu merupakan hal yang sangat penting. Setiap hari, individu pada dasarnya hanya bergulat untuk membentuk citra diri yang dikehendaki. Kehidupan di kota dimana waktu berjalan lebih cepat memaksa individu untuk juga mencari simbol-simbol instan untuk mengkreasikan citra dirinya. Gaya hidup instan juga menyentuh urusan kreasi citra diri. Dalam pola hidup serba instan itu simbol-simbol materilah yang paling gampang didapatkan. Individu yang lahir dan meceburkan diri pada jaman serba instan ini bakal kerepotan kalau mencari simbol citra diri pada hal-hal non materi seperti kepribadian, intelektual, nilai, sikap, karakter dan yang sejenisnya. Ia akan terlihat bodoh ditengah arus konsumerisme yang sebenarnya juga tolol.
” Apa yang aku konsumsi itulah citra diriku”. Individu berpunya dalam masyarakat yang peradabannya tidak dibangun dari tradisi berpikir seperti di sini, slogan semacam itu menimbulkan sebuah sikap paradok. Sebuah paradok nyata misalnya kita selalu mendengar antrian mobil pribadi membeli bensin pada saat harga akan dinaikan. Mereka rela mengantri hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah. Pada lain waktu mereka juga rela mengantri untuk membeli sepotong roti yang bisa berbicara, breadtalk yang harganya sepotongnya lebih mahal dari harga seliter bensin. Lalu jangan heran jika kita mendengar sebuah obrolan berisi padarok: sumpah serapah pada rencana kenaikan harga bensin yang cuma beberapa ratus rupiah dan rencana pembatasan pemakaiannya berlangsung ditempat-tempat sejenis Starbucks. Lahir generasi yang begitu kencang mempertanyakan kenapa harga BBM naik beberapa ratus rupiah dalam kisaran tahun tetapi tidak berani menanyakan kenapa harga secangkir kopi Starbucks cukup untuk membeli lima liter bensin. Dari lingkar paradok ini lahir generasi tanpa karakter.
Dalam konteks mahalnya harga secangkir kopi barangkali ibuku sedang mempertanyakan begitu mewahnya kehidupan di luar sana. Sebuah kemewahan yang tidak pernah terbayangkan seumur hidup baginya dan mungkin jutaan ibu dipelosok negeri celaka ini. Jutaan ibu yang mungkin membeli sekilo beras paling murahpun tidak sanggup.
Gaya hidup juga sebenarnya adalah simbol dari pemaknaan relasi sosial diantara manusia. Lewat secangkir kopi itu mungkin saja ibuku sedang memotret sebuah ketidakpedulian sosial yang sesungguhnya yaitu kemewahan. Kemewahan yang dikecap ditengah tangisan bocah-bocah busung lapar, orang-orang sakit yang meninggal digubuk reot karena tidak mampu berobat dan mungkin tangis sesal bocah-bocah yang tidak mampu bersekolah. Dari tetes kopi starbucks di negeri nomor satu dalam bertuhan ini, lahir generasi yang memahami kepedulian hanya sebatas pada kotak amal di masjid. Mereka lupa bahwa gaya hiduplah sebenarnya ukuran bentuk kepedulian sosial. Gaya hidup melahirkan sikap dan tindak keseharian.
Gaya hidup mewah adalah sebuah bentuk ketidakpedulian yang sesungguhnya. Bagi ibuku dan jutaan ibu-ibu yang tinggal dipelosok negeri ini, berlaku mewah adalah sebuah dosa. Bahkan untuk sekedar mendengar cerita secangkir kopi starbucks pun ibuku mesti harus sering berucap “astaghfirullah…Gusti Allah…”
“Ya Allah Gusti, Astaghfirullah…” demikianlah kalimat pertama yang keluar dari mulut ibuku ketika mendengar harga secangkir kopi di starbucks. Ibuku terkejut bukan buatan ketika mendengar harga secangkir kopi di kedai itu dalam kisaran lima puluh ribuan. Jumlah yang sama dengan harga tetes keringat lima orang buruh tani di kampung tempat ibuku tinggal. Tentu ibuku tidak akan pernah memahami kenapa harga secangkir kopi disana begitu mahal untuk ukurannya meskipun sudah coba kujelaskan.
Starbucks hanyalah salah satu dari sekian simbol gaya hidup. Simbol kosmopolitan. Simbol eksistensi orang kota. Simbol kemewahan. Di kedai itu para pengunjung mengkreasi citra dirinya, menyatukan dirinya dengan simbol-simbol itu. Orang-orang merasa harus hafal berbagai bentuk sajian di kedai itu agar terlihat pintar dan tidak ketinggalan jaman. Kedekatan individu dengan simbol-simbol yang dipilih akan membentuk gambaran diri yang selanjutnya akan membentuk citra diri. Kebutuhan akan pencitraan ini yang diolah oleh para pebisnis untuk mengeruk keuntungan.
Citra diri bagi setiap individu merupakan hal yang sangat penting. Setiap hari, individu pada dasarnya hanya bergulat untuk membentuk citra diri yang dikehendaki. Kehidupan di kota dimana waktu berjalan lebih cepat memaksa individu untuk juga mencari simbol-simbol instan untuk mengkreasikan citra dirinya. Gaya hidup instan juga menyentuh urusan kreasi citra diri. Dalam pola hidup serba instan itu simbol-simbol materilah yang paling gampang didapatkan. Individu yang lahir dan meceburkan diri pada jaman serba instan ini bakal kerepotan kalau mencari simbol citra diri pada hal-hal non materi seperti kepribadian, intelektual, nilai, sikap, karakter dan yang sejenisnya. Ia akan terlihat bodoh ditengah arus konsumerisme yang sebenarnya juga tolol.
” Apa yang aku konsumsi itulah citra diriku”. Individu berpunya dalam masyarakat yang peradabannya tidak dibangun dari tradisi berpikir seperti di sini, slogan semacam itu menimbulkan sebuah sikap paradok. Sebuah paradok nyata misalnya kita selalu mendengar antrian mobil pribadi membeli bensin pada saat harga akan dinaikan. Mereka rela mengantri hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah. Pada lain waktu mereka juga rela mengantri untuk membeli sepotong roti yang bisa berbicara, breadtalk yang harganya sepotongnya lebih mahal dari harga seliter bensin. Lalu jangan heran jika kita mendengar sebuah obrolan berisi padarok: sumpah serapah pada rencana kenaikan harga bensin yang cuma beberapa ratus rupiah dan rencana pembatasan pemakaiannya berlangsung ditempat-tempat sejenis Starbucks. Lahir generasi yang begitu kencang mempertanyakan kenapa harga BBM naik beberapa ratus rupiah dalam kisaran tahun tetapi tidak berani menanyakan kenapa harga secangkir kopi Starbucks cukup untuk membeli lima liter bensin. Dari lingkar paradok ini lahir generasi tanpa karakter.
Dalam konteks mahalnya harga secangkir kopi barangkali ibuku sedang mempertanyakan begitu mewahnya kehidupan di luar sana. Sebuah kemewahan yang tidak pernah terbayangkan seumur hidup baginya dan mungkin jutaan ibu dipelosok negeri celaka ini. Jutaan ibu yang mungkin membeli sekilo beras paling murahpun tidak sanggup.
Gaya hidup juga sebenarnya adalah simbol dari pemaknaan relasi sosial diantara manusia. Lewat secangkir kopi itu mungkin saja ibuku sedang memotret sebuah ketidakpedulian sosial yang sesungguhnya yaitu kemewahan. Kemewahan yang dikecap ditengah tangisan bocah-bocah busung lapar, orang-orang sakit yang meninggal digubuk reot karena tidak mampu berobat dan mungkin tangis sesal bocah-bocah yang tidak mampu bersekolah. Dari tetes kopi starbucks di negeri nomor satu dalam bertuhan ini, lahir generasi yang memahami kepedulian hanya sebatas pada kotak amal di masjid. Mereka lupa bahwa gaya hiduplah sebenarnya ukuran bentuk kepedulian sosial. Gaya hidup melahirkan sikap dan tindak keseharian.
Gaya hidup mewah adalah sebuah bentuk ketidakpedulian yang sesungguhnya. Bagi ibuku dan jutaan ibu-ibu yang tinggal dipelosok negeri ini, berlaku mewah adalah sebuah dosa. Bahkan untuk sekedar mendengar cerita secangkir kopi starbucks pun ibuku mesti harus sering berucap “astaghfirullah…Gusti Allah…”